Adapun kriteria seorang untuk menjadi Sultan Buthuuni adalah berasal dari Golongan Kaomu (Lalaki) Kamborumboru Talupalena, Laki-Laki, sehat jasmani dan rohani, memiliki Sifat-sifat Nabi Muhammad antara lain Sidik (benar dan jujur dalam segala hal, rela berkorban di jalan kebenaran, tak boleh berbohong); Tabligh (menyampaikan segala perkara yang memberi manfaat terhadap kepentingan umum, tak boleh menyembunyikan sesuatu maksud); amanah (mempunyai rasa kepercayaan terhadap umum, tak boleh mempertukarkan sesuatu hal sehingga pendengaran tidak sesuai bukti atau perasaan); Fatanah (fasih lidah dalam berbicara). Selain dari pada syarat-syarat tersebut wajib juga bagi seorang Sultan memiliki sifat-sifat Ketuhanan, yaitu : Hiyaat, Ilmu, Kodrat, Iradat, Basyar, Sama’a dan bersifat Kalam.
Kriteria tersebut di atas merupakan adat mufakat Sara Kesultanan Buthuuni karena seorang Sultan menjadi penghulu dari rakyat Buthuuni dan mempunyai hukum kekuasaan, kebesaran dan kemuliaan dalam daerah kesultanannya. Sebab itu menurut adat mufakat yang bergelar Sultan itu diteladankan sebagai Khalifatullah ( Penggati Tuhan ) sesuai ungkapan Ulama Tahkiq : “ Assulthaani Khalifatullah Fil Ardhi artinya :“ Sultan itu pengganti Tuhan di Bumi”. Sejak pengangkatan raja Buthuuni pertama Wa Kaa Kaa, sudah terlihat dasar pemahaman yang sejalan dengan agama Islam (faham tasawuf). Sebelum Wa Kaa Kaa dilantik menjadi raja oleh Pata Limbona (empat Bonto), beliau memberikan suatu pertanyaaan yang bermakna filosofi dan sejalan dengan pemahaman tasawuf. Pernyataan dan sekaligus pertanyaaan Wa Kaa Kaa tersebut ditujukan kepada Pata Limbona sesuai dengan hadist kudsi yaitu: “Wa Kaa Kaa meberikan pertanyaan “Kul Rabbi Maa Abdi” yang artinya jika aku Tuhan siapa hambaku. Dimaksudkan oleh Wa Kaa Kaa bahwa jika seandainya beliau diangkat menjadi raja maka siapa rakyatnya. Kemudian dilanjutkan dengan “Kul Abdi Maa Rabbi” artinya jika aku hamba siapa Tuhanku. Hal ini juga dimaksudkan bahwa seandainya aku hamba atau rakyat siapa Rajaku. Dan Wa Kaa Kaa, kemudian menjawab sendiri pertanyaannya, dengan melanjukan kalimat “Kul Rabbi Maa Abdi Wahidun” yang berarti Tuhan dan Hamba itu bersatu. Pemahaman atas kalimat terakhir tersebut pada dimaknai secara filosofis (niali-nilai tasawuf), bahwa Raja adalah satu kesatuan dengan rakyatnya. Sehingga pemahaman tersebut, oleh masyarakat Buthuuni diabadikan dengan sebuah pepatah yang dalam bahasa daerah dikatakan “Poromu yindaa saangu, Pogaa yinda koolota” yang artinya berkumpul tidak bersenyawa bercerai tidak berantara.
0 komentar:
Posting Komentar
Tolong Komentarnya. Terima Kasih