Pada awal berdirinya Kerajaan Buthuuni sampai pada Sultan yang ke-3 sistem pemerintahan terbagi atas dua golongan, yaitu : pertama golongan penguasa dan kedua golongan rakyat yang diperintah. Golongan Penguasa terdiri dari bapak yaitu terdiri delapan limbo kemudian menjadi Sembilan limbo dan Raja sebagai pelaksana pemerintahaan sehari-hari yang disebut dengan anak. Inilah dalam sistem pemerintahan di Buthuuni disebut dengan Adatu Azali. Menurut tula-tula dan kabenci-kabenci sistem pemerintahan Adatu Azali ini awalnya diadakan pada saat pelantikan Raja Pertama Wa Kaa Kaa.
Delapan Bonto yang mengangkat dan melantik Wa Kaa Kaa menjadi Raja pertama diibaratkan “Bapak (Delapan Bonto) melantik dan mengangkat Wa Kaa Kaa sebagai Anak atau Raja. Delapan Bonto sebagai Bapak dan Wa Kaa Kaa sebagai Anak atau Raja. Dimana Delapan Bonto telah menurunkan kebesarannya dan diberikan kepada anaknya/Raja dan Anak/Raja menerima pemberian itu atas janji dari Bapaknya dalam bahasa Adat : “Ka Angkata tee Ka Muliangi “. Ini mengandung arti bahwa Wa Ka Kaa telah diangkat sebagai Anak atau Raja dari Delapan Bonto yang sifatnya telah menjadi bayi yang baru lahir dalam arti: diberi baru menerima, disuap baru membuka mulut dan hanya menangis dan tertawa yang dikenalnya. Sedangkan untuk Bapak (Delapan Bonto) adalah kekuasaan penuh pada mereka dan apa-apa yang menjadi keperluan dan kebutuhan Anak atau Raja adalah tanggungan Bapak. Inilah yang disebut dengan “ADATU AZALI”.
Masa pemerintahan Raja ke 2, Bulawambona, Delapan Bonto ditambah satu yaitu Bontona Melai menjadi Sembilan Bonto yang dikenal dengan Bonto Sio Limbona. Bonto Sio Limbona inilah sampai pada masa Sultan terakhir mempunyai tugas khusus yaitu memilih Raja/Sultan di Buthuuni. Atas permusyawaratan antara Sio Limbona dan Raja ke 3, Bataraguru dibuatlah jabatan baru yaitu Sapati. yang dijabat oleh Manjawari sebagai Sapati pertama. Pada masa Raja Tua Rade (Raja IV) atas permusyaratan dengan Sio Limbona dibuatlah jabatan baru yaitu Kenepulu.Pada masa pemerintahan Raja ke 5 Raja Mulae dibuatlah jabatan baru yaitu Bonto Ogena tapi belum bernama Bonto Ogena akan tetapi disebut Tunggu Weti. Dari masa pemerinthan Raja VI atau Sultan Pertama sampai pada masa Sultan ke 3 tidak ada jabatan baru yang dibuat.
Pada masa Sultan Dayanu Iksanuddin (Sultan IV) struktur pemerintahan kesultanan Buthuuni mulai disempurnakan. Atas permusyawaratannya dengan Sara disusunlah Undang-Undang Negara Kesultanan Buthuuni yand disebut dengan Undang-Undang Dasar Murtabat Tujuh dan Sifat Dua Puluh. Undang-Undang Murtabat Tujuh dan Sifat Dua Puluh berisi : struktur pemerintahan Kesultanan Buthuuni, pembagian kekuasaan antara Walaka dan Kaumu (Lalaki), Pangka-pangka, dan pembagian wilayah Kesultanan menjadi Pitupuluh Rua Kadie dan Pata Barata.
Dalam Undang-Undang Dasar KesultananSecara garis besar struktur pemerintahan Kesultanan Butuuni terbagi atas 2 (dua) bagian. Struktur pemerintahan ini diambil dari tamsil atau teladan pada manusia bahwa “ Diri Manusia terdiri dari Jasad dan Nyawa (Roh), yaitu : pertama Sara Ogena (Sarana Wolio) di tamsilkan sebagai Jasad dan yang kedua Sara Kidina (Sarana Agama) di tamsilkan sebagai Nyawa/Roh Manusia.
0 komentar:
Posting Komentar
Tolong Komentarnya. Terima Kasih